Jumat, 17 Februari 2012

HAPPY 25TH CHANGMIN!!

Dan.... Ini adalah tahun ke-4 menjelang ke-5 saya jatuh cinta dengan orang ini!! Hohohohoho


Semoga tahun ini bisa menjadi semakin dan semakin dewasa! Makin tampan! And always be Healthy, sweety!!!




LOOOOVVVEEEEEE YYYOOOOOUUUUU SSSSOOOOOO MMMUUUUCCCCCCHHHHH!!!!

Rabu, 20 Juli 2011

Testicullar Feminization

Title        :  Testicullar Feminization
Author    : Selvi Uzumaki
Chapter  : 3/3 begin
Genre     : NC 17 for violence and murder
Fandom  : the GazettE ( Uruha and Ruki), Versailles (Hizaki), ViViD (Shin), and other singer hehehehe
Pairing    : Uruha/Hizaki
Disclaimer : they’re a human. I don’t own them.
Summary   : dan ketertarikan itupun membawa Uruha mengalami kejadian yang bahkan tak pernah terlintas dimimpinya sekalipun... keindahan itu penderitaan... sedangkan Ruki, akan merasakan akibat dari mengusik keindahan itu...

~ ~ ~ ~

 
Aku yang tak kau ketahui...
Aku yang selalu kusembunyikan...
Aku yang tak pernah ingin terlihat...
Dan memang tak ada yang boleh melihat.!

Saat sebuah hati terbagi menjadi dua bagian. Maka, salah satu bagian itu akan semakin mendominasi bagian yang lain.

Aku menyayangimu yang sangat menyayangiku. Aku mencintai dirimu yang sangat mencintai diriku. Namun, aku lebih menghormati diriku yang entah kenapa tak ingin tersentuh oleh tulusnya perasaan cinta yang kau miliki.

Aku tak ingin hancur hanya karena perasaan bodoh yang mampu membuat orang jenius bahkan terlihat tak ubahnya seperti orang idiot.

Aku normal, sama seperti yang lain. Hanya saja, aku tak tersentuh...

~ ~ ~ ~ ~

“Uruha senpai...” Hizaki menyandarkan tubuh mungilnya kesisi sofa dan berbisik lembut ditelinga Uruha begitu kembali dari kamarnya. Tercium aroma shampoo dari rambut panjang keemasan Hizaki yang kini terurai.

“hum.??” Uruha sedikit bergeming saat aroma dari rambut Hizaki menyentuh indera penciumannya. Dielusnya lembut puncak kepala Hizaki dari samping, membuat gadis itu memejamkan matanya dengan tenang.

“senpai.?” Hizaki mendongakkan kepalanya dan menatap Uruha dalam.

“ya.?”

“bolehkan aku mencium mu.?” Hizaki menundukkan kepalanya saat kalimat itu selesai diucapkannya. Semburat merah tampak terlihat dikedua pipi putih porselennya.

Uruha tersenyum.

“bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu.?” Uruha mengangkat kepala Hizaki hingga kedua pasang mata mereka bertemu.

Hizaki tersenyum.

~ ~ ~ ~ ~

“apa kau yakin melihatnya.!?” Ruki membentak kohei-nya yang kini tengah memegang benda kecil yang tadi ditemukannya diruangan tempat mayat Ayumi ditemukan.

“senpai.. kau tidak perlu membentak seperti itu kan.??” Protes Shin yang terpaksa harus menutup kedua telinganya saat senpainya itu sudah mulai mengeluarkan scream mematikannya.

Ruki mendengus. “hah.. baiklah. Tapi, apa kau benar-benar yakin melihatnya memakai itu hari ini.?” Tanya Ruki sekali lagi.

“un.” Shin mengangguk.

“cih.! sial.!”

Ruki segera berlari meninggalkan ruang ganti baju klub renang tersebut. Dia harus segera menemukan Uruha. Shin mengikuti senpainya itu dibelakang, meski sebenarnya dia sama sekali tak tahu kenapa senpainya itu berlari.

“tunggu dulu..” Ruki menghentikan larinya dengan tiba-tiba. Membuat Shin yang mengikuti Ruki dari belakang dengan mulus menabrak punggung pemuda itu telak.

“aduh.!” Shin mengelus dahinya sambil cemberut. Kebiasaan senpainya ini harus segera diubah, pikir Shin sedikit kesal.

“aku tidak tahu dimana rumah gadis itu” gumam Ruki pelan.

“rumah.?” Shin meletakkan telunjuk kanannya kedahi, “apa maksud senpai, rumah Hizaki.?” Tanya Shin pelan, tak ingin Ruki kembali berteriak atau apa.

“KAU TAU.!?” Dan benar saja, Ruki kembali berteriak kearahnya, sehingga sekali lagi Shin harus menutup kedua lubang telinganya.

“yah, rumahnya ada didekat komplek rumahku.” Sahut Shin masih menutup kedua telinganya.

“antar aku kesana.!” Seru Ruki seraya menarik tangan Shin kuat dan mengajak pemuda itu berlari.

~ ~ ~ ~

“senpai....” Sebuah suara perempuan terdengar mengalun dari sebuah ruangan dirumah Hizaki.

“emmm...” Sebuah suara lain mengikuti.

“sen-senpai.!!”

 “pelan-pelan...”

“uumm.. senpai...”

“yap.!! Selesai..!!”

“Aaaahhh...”
.

-Areee.??? (O_O)> Ah fanservice~ *Author kembali tidur*-

.

“senpai.. krimnya terlalu besar~!” Hizaki berseru saat Uruha selesai menghias es krim coklat yang tadi diantar oleh tetangga Hizaki.

“ehehehe.. ma’af. Aku terlalu bersemangat.” Sanggah Uruha sambil menggaruk belakang kepalanya.

 “senpai..” Hizaki tersenyum jahil.

“hum.??” Uruha menengadahkan kepalanya menatap Hizaki yang duduk dihadapannya.

“Buka mulutnya~ Aaaa~!” Perintah Hizaki seraya menyuapkan satu sendok penuh es krim coklat kepada Uruha.

“huuffhh..” Uruha membuka mulutnya dan detik berikutnya wajah tampan pemuda itu tergantikan dengan ekspresi kedinginan yang membuat Hizaki memegang perutnya.

“hahahahaha..” Hizaki tertawa melihat ekspresi Uruha yang dianggapnya lucu tersebut.
Uruha menatap Hizaki dan tersenyum lembut kearah gadis itu. Menarik bahu gadis itu dan memeluknya erat.

“Sen-senpai.?”

“aku mencintaimu.” Ucap Uruha lembut ditelinga Hizaki.

“aku tahu.” Sahut Hizaki pelan.

“ya.” Uruha semakin mengeratkan pelukannya. Memejamkan matanya dan menikmati sentuhan hangat dari tubuh gadis yang dipeluknya. Tak ingin ada satupun yang memisahkannya dengan gadis itu.

Hizaki membalas pelukan Uruha seraya tersenyum. Sebuah senyum yang punya banyak arti bagi siapa pun yang melihatnya. Namun sayangnya, tak ada siapapun diruang itu yang melihat senyuman tersebut.

Seandainya Uruha melihat senyuman licik itu.

~ ~ ~ ~

“dimana.!?” Ruki berlari mengelilingi sebuah komplek perumahan bersama dengan Shin yang mengikutinya dengan setia dibelakang.

“aku yakin ada didaerah sini, senpai.!” Sahut Shin sambil berusaha mengatur nafasnya.

“ayolah, Shin.! Yang mana rumahnya.!?” Ruki mendesak pemuda itu sambil terus memutari rumah-rumah yang ada disitu.

Shin berhenti berlari dan berjongkok demi mengatur nafasnya yang benar-benar tak terkontrol.

“ke-napa senpai tak mencari de-ngan membaca papan na-ma di-ma-sing-masing rumah itu saja.?” Ucap Shin terbata sambil menunjuk kearah papan-papan kecil yang tertempel disetiap pagar diperumahan tersebut.

Pipi Ruki terasa memanas sepersekian detik. Bagaimana dia bisa begitu bodoh.?

Tanpa banyak bicara Ruki mulai mendatangi tiap papan nama tersebut dan membacanya dengan teliti.

“tunggu dulu..” Ruki memutar tubuhnya sehingga menghadap Shin yang entah kenapa selalu berada dibelakangnya.

Shin menatap senpainya itu dengan tatapan putus asa.

“jangan bilang kalau senpai tidak tau nama keluarga gadis itu.?” tanya Shin dengan nada sarkastis yang kental. Membuat kedua pipi Ruki kembali memanas.

Shin mengelap peluh yang terus mengalir didahinya dengan telapak tangan dan berjalan dalam diam melewati Ruki yang menatapnya dengan wajah memerah.

“oi, Shin.!” Ruki memanggil Shin yang berjalan tanpa menghiraukannya.

“SHIN.!!” Ruki menaikkan nada suaranya. Namun masih, pemuda yang dipanggilnya sama sekali tak menghiraukan panggilannya dan terus berjalan melewati rumah-rumah yang ada diperumahan itu.

“ada apa dengan anak itu.?” gumam Ruki pelan. Dengan langkah gontai diikutinya langkah pemuda yang sedari tadi tak menghiraukan panggilannya tersebut.

Terus berjalan. Shin terus melangkahkan kakinya melewati rumah-rumah berpagar tinggi diperumahan itu dalam diam. Terus berjalan tanpa menghiraukan Ruki yang kini nampak mulai kesal dengan tingkahnya.

Langkah kedua pemuda itu terus melaju dan semakin menjauhi perumahan yang ada disana. Terus masuk melewati padang ilalang tinggi dan berhenti didepan sebuah rumah besar dengan pagar yang menjulang.

“ini rumahnya.” Ucap Shin datar tanpa memalingkan wajahnya menatap Ruki.

“rumah.?” Ruki mengelap keringat didahinya. “maksudmu rumah Hizaki.? kau yakin.?”

Shin hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Ruki.

Urat-urat didahi Ruki sedikit berkedut, “kalau kau tahu kenapa tidak bilang daritadi saja.!?” bentak Ruki pada Shin dengan suara sedikit tertahan karena tak ingin membuat koheinya itu terus-terusan menutup telinga karena suaranya.

Namun apa yang diperkirakan Ruki salah. Shin sama sekali tidak menutup telinganya bahkan tidak menjawab dan berjalan mendekat kearah sebuah papan kecil yang tergantung dipagar besar rumah itu.

Ruki mendekati Shin dan membaca tulisan yang tertera dipapan kecil itu.

HIZAKI’S VILLA

Sebelah alis Ruki terangkat, gadis itu tidak mempunyai nama keluarga.? Atau ‘Hizaki’ adalah nama keluarganya.?

“senpai yakin mau masuk kedalam.?” tanya Shin pelan pada Ruki tanpa menatapnya.

“tentu saja.!” Jawab Ruki mantap.

“senpai...” Shin menundukkan kepalanya.

Ruki menatap Shin bingung, “memangnya kenapa Shin.? Kenapa tingkahmu jadi aneh.?” Tanya Ruki kemudian.

Shin diam, membalikkan badannya pelan menghadap Ruki.

“hei, memangnya kenapa.?” Ulang Ruki kembali seraya meraih pundak Shin dan menggoyangnya.

“Hizaki itu adalah ad...”

Kriieeettt...

Shin menghentikan kalimatnya saat tiba-tiba pintu rumah besar yang ada dibalik pagar itu membuka. Menampakkan sesosok gadis dengan gaun ala aristokrat nya yang mewah dan rambut panjang keemasan terurai berdiri diambang pintu tersebut.

“Hizaki...” Ruki menggumam pelan.

“Ruki-senpai.?” Hizaki berlari kearah pagar dan membukanya demi menghampiri Ruki yang menatapnya tajam.

“mana Uruha.?” Tanya Ruki dingin ketika Hizaki sudah berdiri dihadapannya. Shin bergeser dari tempatnya berdiri kebelakang Ruki.

Hizaki menahan tawanya saat melihat tingkah Shin tanpa menghiraukan pertanyaan Ruki.

“apa yang kau tertawakan.?” Ruki menatap kesal pada gadis itu, “aku tanya padamu dimana kakakku.?” Ulang nya lagi. Kali ini disertai dengan cengkeraman kuat pada lengan kanan Hizaki oleh Ruki.

“senpai...” Hizaki menyahut lembut, “Uruha-senpai ada didalam kok. Senpai boleh masuk kalau mau ketemu.” Sambung gadis itu sambil tersenyum dan tak menghiraukan cengkeraman Ruki yang kini membuat lengannya memerah.

Ruki menyipitkan sebelah matanya. “ini milikmu kan.?” Tanya Ruki tiba-tiba seraya mengeluarkan sebuah bross berbentuk mawar merah kecil yang tadi ada disaku celananya.

Shin menggenggam baju Ruki kuat saat pemuda itu menunjukkan bross itu kepada Hizaki.

“senpai.!” Shin berusaha mencegah tindakan Ruki dengan suara yang hampir tak terdengar, namun Ruki sama sekali tak menghiraukannya.

Sepersekian detik retina Hizaki mengecil dan kembali kebentuk awal.

“jadi senpai yang menemukannya.?” Tanya Hizaki lembut sambil mengambil bross itu dari tangan Ruki.

“kenapa ini bisa ada ditempat itu.?” tanya Ruki tajam.

“hum.?” Hizaki menatap Ruki lembut, “maksud senpai.?”

“Ayumi-sensei tewas dibunuh sore tadi, dan itu kutemukan tak jauh dari mayatnya.” Jelas Ruki tajam pada Hizaki. Shin semakin menguatkan genggaman tangannya dibaju Ruki.

Hizaki tersenyum, sebuah senyum yang lebih pantas disebut seringai.

“seharusnya senpai tidak mengatakan itu kepadanya.” Bisik Shin dari balik punggung Ruki.

DUK.!!

Shin memukul bagian belakang kepala Ruki keras sehingga membuat pemuda itu kehilangan kesadarannya, dan dengan sigap menangkap tubuh Ruki sebelum jatuh ketanah.

Hizaki tersenyum, “bawa dia masuk, Shin.”
.

Angin bertiup lembut dari sebuah jendela terbuka yang berada disebuah kamar dirumah Hizaki. Tirai merah jambu yang menjadi satu-satunya penghalang dunia luar dan ruangan itu berayun lembut mengikuti alunan angin. Menemani perjalanan dari bintang-bintang yang berputar diruangan tersebut.

Memantulkan cahaya-cahaya temaram pada dinding-dinding kamar tersebut dan dua sosok pemuda, Ruki dan Uruha, yang terbaring di ranjang dengan kedua tangan dan kaki yang terikat.

“ukh.!” Ruki mengerjapkan matanya lemah saat kesadaran sudah diraihnya kembali. Kedua bola mata kristalnya menatap langit-langit ruangan yang kini ditempatinya. Bintang-bintang kecil berlarian dengan santai dilangit-langit itu.

“aduhh..” Ruki meringis saat dirasakan sakit pada tengkuknya, berusaha menyentuh luka ditengkuknya yang menjadi penyebab rasa sakitnya. Tapi...

“a-apa ini.?” Ruki berusaha menarik kedua tangannya namun tak bisa karena keduanya sudah terikat kuat dengan tali.

“tenanglah, Ruki.” Sebuah suara menegur pemuda itu.

Ruki menolehkan wajahnya kesamping saat suara berat yang sangat familiar ditelinganya bergema diruang itu. Namun hanya sepasang kaki yang terikatlah yang dapat ditangkap oleh inderanya.

“Uruha.?” Dengan susah payah Ruki berusaha menolehkan pandangannya kearah bawah dimana wajah pemilik kaki itu berada.

“ya, ini aku.” Sahut Uruha pelan. Kedua tangan dan kakinya juga terikat seperti Ruki.

Hening.

Untuk beberapa saat kedua bersaudara itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ruki masih berusaha menarik tangannya berharap ikatan dipergelangannya itu mengendur dan terlepas. Walau dia tahu dengan pasti hal itu mustahil.

Uruha hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Pikirannya terus berputar dan menolak kenyataan yang kini dialaminya. Hizaki pasti sedang bercanda.

“sepertinya kali ini aku mungkin melakukan kesalahan yang lebih fatal, kan, Ruki.?” Uruha menggumam pelan.

“kurasa bukan mungkin. Gadis itu yang membunuh Ayumi-sensei.” Sahut Ruki dingin. Uruha hanya diam, karena walau dia tidak mau mengakuinya, hal itu sudah terlintas dalam pikirannya saat melihat tetesan darah dipundak gadis itu. Hizaki tidak memiliki jadwal praktikum yang berhubungan dengan darah hari ini.

“cih.! ini diluar perkiraan ku.!” Umpat Ruki kesal.

“ma’af...” Uruha kembali menggumam pelan. Sebuah perasaan bersalah kini menghinggapinya. Mungkin pemikirannya tentang gadis itu kini salah. Seandainya saja ia tidak jatuh pada gadis itu.

~ ~ ~ ~ ~

Kadang... kata-kata dan kalimat tidak lebih memiliki arti dibanding dengan tatapan mata...
Kadang... diam adalah cara paling baik untuk menyampaikan sesuatu...
Kadang... apa yang kau pikir kenyataan ternyata hanyalah sebuah kepalsuan...
Kadang... arti sama sekali tidak memiliki arti...

~ ~ ~ ~ ~

To be continued...
A/n : hehehe gara-gara keasyikan nulis ga nyadar kalo udah lebih dari 15 halaman.. terpaksa dibagi jadi dua bagian.. yap.! ini sesi awal chapter terakhir.. sesi kedua segera menyusul.. hehehe..

oya.. sebelum saya menghilang lagi.. mau ngucapin SELAMAT NIKMATI LIBURAN DAN SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA~!!

Minggu, 15 Mei 2011

Testicullar Feminization

Title        :  Testicullar Feminization
Author    : Selvi Uzumaki
Chapter  : 2/3
Genre     : NC 17 for violence and murder
Fandom  : the GazettE ( Uruha and Ruki), Versailles (Hizaki), ViViD (Shin), and other singer hehehehe
Pairing    : Uruha/Hizaki
Disclaimer : they’re a human. I don’t own them.
Summary   : dan ketertarikan itupun membawa Uruha mengalami kejadian yang bahkan tak pernah terlintas dimimpinya sekalipun... keindahan itu penderitaan... sedangkan Ruki, akan merasakan akibat dari mengusik keindahan itu...



~~~~


Tak ada yang tahu tentang ku..
Tak ada satupun yang ingin tahu tentang ku..
Lalu apa dengan semua tatapan itu.?
Apa, dengan semua kekaguman itu.?
Persetan dengan semuanya.!

Kesempurnaan memang akan selalu terlihat sempurna dari sudut pandang manapun. Tak akan ada terlihat kecacatan selama mereka yang menngagungkan kesempurnaan  menutup matanya untuk kecacatan itu. Dan sebuah rahasia akan terus menjadi rahasia selama semuanya tetap mebuat rahasia itu menjadi sebuah rahasia.

Tapi tahukah kau.? Bahwa hanya dengan satu kalimat, bahkan hanya dengan satu kata, sebuah kecacatan kecil dari kesempurnaan itu akan menyebar. Semua rahasia itu dapat terkuak dengan lebar.

Kau tahu itu kan.?

~ ~ ~ ~

“bu Ayumi.!” Hizaki berlari kecil menyusul dosen muda yang baru saja menyelesaikan kuliah genetic tadi. sang dosen berhenti berjalan saat gadis itu memegang tangannya.

“hum.? Ada apa, Hizaki-san.?” Sang dosen menatap lembut pada muridnya itu.

Hizaki tidak langsung menjawab pertanyaan dosen itu. kedua bola matanya nampak menyisir kesudut ruang kuliah yang kini kosong itu. memastikan bahwa memang tak ada seorang lagipun diruangan tersebut.

Sebuah senyum aneh terukir dibibir mungil Hizaki saat indera penglihatannya memastikan memang tak ada seorang lagipun diruangan itu.

“Hizaki-san.?” Ayumi memanggil gadis yang kini berjalan kedekat pintu keluar dan mengunci ruangan itu dari dalam. Sedikit perasaan tidak enak terlintas dipikiran dosen muda itu.

Hizaki berpaling menatap dingin pada dosen mudanya itu.

Ayumi bergeming, “Hi-Hizaki-san.?”

Senyuman Hizaki mulai terkembang dikedua bibir mungilnya. Berjalan perlahan mendekati dosen muda dihadapannya yang terlihat sedikit ketakutan menatap perubahan sikapnya.

“kenapa ibu gemetar.?” Hizaki berujar pelan seraya membelai rambut dosennya itu lembut.

“kenapa kau mengunci pintunya, Hizaki-san.?” Ayumi sedikit mundur saat belaian Hizaki terus turun kelehernya. Hizaki tersenyum.

Testicular feminization” Hizaki bergumam pelan. Melangkahkan kakinya semakin mendekat kearah Ayumi yang semakin mundur menjauh kebelakang.

pheromone dan schizoprenia.” Kedua jemari Hizaki meraih pundak Ayumi dan mencengkeramnya kuat.

“apa maksudmu, Hizaki.? Apa masih ada yang ingin kau tanyakan.?” Ayumi berusaha mencerna maksud ucapan Hizaki. Kedua belah tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Hizaki dipundaknya yang semakin lama semakin kuat.

Hizaki tak menjawab.

“akh.! Hi-Hizaki, apa yang kau lakukan.?” Ayumi tersentak saat dirasakannya kuku-kuku Hizaki mulai menembus kulit arinya dari balik kemeja putih yang dipakainya.

 “ada apa, Bu Ayumi.?” Hizaki terkekeh, dan berbisik pelan didekat telinga Ayumi.

“Hizaki.! Lepaskan.!” Ayumi berseru keras kearah Hizaki. Berusaha melepaskan cengkeraman Hizaki yang sungguh dirasanya sudah sangat kuat dan menyakitkan dipundaknya. Berlari menjauh dan menjaga jarak dari 
Hizaki dibalik meja saat berhasil melepaskan cengkeraman muridnya itu.

Hizaki menyeringai sambil terus berjalan pelan kearah Ayumi.

Deg.

Sesuatu yang dingin melintas dibenak Ayumi. Perasaan tak nyaman yang dirasakannya sejak Hizaki mengunci pintu tadi semakin kuat.

“apa kau tahu satu hal saja tentangku, Ayumi.?” Hizaki semakin mendekat dan Ayumi semakin menjauh. “aku yang sebenarnya,” lanjut Hizaki dengan suara yang begitu lembut.

“a-apa maksudmu.?” Ayumi kini berdiri membelakangi pintu keluar.

“apa kau pernah memikirkan seandainya salah satu muridmu mengalami kelainan yang kau sebutkan tadi, bu Ayumi.?” Hizaki terus tersenyum.

“a-apa.?” Kedua tangan Ayumi berusaha membuka pintu itu dari balik badannya.

Hizaki mempercepat langkahnya dan dalam beberapa detik sudah berdiri tepat didepan Ayumi. Mencengkeram kedua tangan Ayumi dan mengangkatnya keatas, hingga kedua kaki Ayumi kini tak lagi menyentuh lantai ruang kelas itu.

“akh.! Apa yang kau lakukan.!?” Ayumi meringis saat merasakan nyeri pada tangannya yang diangkat tinggi oleh Hizaki.

“apa kau pernah bertemu dengan orang-orang yang memiliki kelainan seperti itu, Ayumi.?” Suara Hizaki kini terdengar seperti sebuah desisan, membuat Ayumi semakin ketakutan dengan tingkah muridnya itu.

Hizaki mundur selangkah kebelakang dengan sebelah tangan yang masih mencengkeram tangan Ayumi.

Sebelah tangan Hizaki mulai membuka kemeja bercorak pink polkadot yang dikenakannya. Melepaskan semua kancing yang melekat disisi-sisi kemeja tersebut dan menampakkan tubuh putih mulus tanpa cacat sedikitpun yang dimilikinya.

Kedua bola mata Ayumi terbelalak, “a-apa yang kau lakukan.!?”

Hizaki tak menanggapi. Sebelah tangannya terus membuka kemeja yang dipakainya hingga tak ada satu helai benangpun kini yang menutupi tubuh bagian atasnya.

“bagaimana, Ayumi.?” Hizaki menyeringai, “apa kau menemukan ada sesuatu yang berbeda dariku.?”

Ayumi menatap tubuh Hizaki yang terekspos jelas dihadapannya dalam diam. Apa maksud gadis didepannya ini.? Apanya yang berbeda.?

“tak ada perbedaan dengan tubuhmu bukan.?” Lanjut Hizaki seraya menarik kemeja tipis yang dikenakan Ayumi hingga sobek.

“Kya!! Apa yang kau lakukan.!!” Ayumi melotot kearah Hizaki. Jelas tak terima terhadap apa yang barusan dilakukan gadis itu padanya.

“memang tak ada yang berbeda dari tubuhku dan tubuhmu.” Hizaki berujar dingin tak mempedulikan protes dari dosen muda itu, kedua belah tangannya kembali mencengkeram lengan Ayumi.

“tapi aku tidak sama denganmu..!!!!” dan dengan satu hentakan kuat, tubuh Ayumi terlempar kearah meja yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi.

“ukh.!” Ayumi memegang kepalanya yang kini mulai mengeluarkan darah saat menabrak sudut meja.

Hizaki mendekat kearah Ayumi dan menjambak rambut panjang wanita itu, membuat Ayumi meringis kesakitan.

Plak.!!

“Kya~!!”

Sebuah tamparan keras mendarat diwajah Ayumi. Membuat sebuah cairan merah kembali merembes keluar dari belahan bibir dosen muda itu.

“kau tak boleh berpikir aku sama denganmu.!! Aku tak sama denganmu.!!”

Dan kembali tamparan-tamparan keras mendarat diwajah dosen muda itu, membuatnya tak kuasa menahan air matanya dan mulai terisak.

Hizaki menghentikan tamparannya saat satu tetesan air mata Ayumi mengenai jemarinya.

Hizaki menatap jijik pada Ayumi, “wanita itu memang menjijikkan.” Ucapnya dingin. Melepaskan cengkeramannya dari rambut Ayumi dan berjalan kearah tas tangan miliknya yang berada diatas meja didekatnya.

Ayumi menatap Hizaki ketakutan.

 “kau tahu, Ayumi. Kata-kata itu bahkan bisa membuat seseorang kehilangan nyawanya.” Hizaki mengaduk-aduk isi tasnya sembarang dan mengambil sesuatu dari dalam tas tersebut.

Ayumi semakin ketakutan. Apa yang dikatakan oleh gadis ini.? Kata apa.? Kelainan.?

Deg.

Ayumi tersentak, sepertinya dia mengerti sekarang maksud dari ga- ah bukan, tapi pemuda dihadapannya itu.

“kumohon.. lepaskan aku...” Suara Ayumi terdengar sedikit bergetar.

Hizaki tertawa kecil, “kenapa.? kau sudah mengerti maksudku, eh, Ayumi.?”

“ma-ma’afkan aku, kalau aku sudah menyinggung perasaanmu.” Ayumi memohon.

Hizaki menatap semakin jijik pada wanita itu.

“aku tak pernah mema’afkan, Ayumi.” Sebuah benda berkilat kini sudah berada ditangan Hizaki dan teracung bebas diudara. Membuat Ayumi semakin meneteskan air matanya.

“ku-kumohon... jangan sakiti aku..”

Hizaki menulikan indera pendengarannya dari rintihan Ayumi. Benda berkilat yang merupakan belati kesayangan miliknya itu kini sudah menempel diwajah putih Ayumi dengan kokoh.

“hiks. Ku-kumohon...” Ayumi menangis dan memohon kepada Hizaki. Namun sepertinya semua itu sia-sia.

“selamat tinggal, dosen bodoh.!”

“AAAKKKKKKKHHHH~~!!!!!”

Satu teriakan memilukan dari dosen muda itu mengiringi setiap inci dari gerakan belati dilehernya. Memutus kesatuan kulit yang ada disana dan hubungan dari tiap pembuluh darah dan nadi disana. Menyemburkan cairan kental merah dari belahan yang dibuat oleh belati itu.

Membuat sidosen muda tak bisa lagi mengeluarkan suaranya. Bungkam untuk selamanya.

“ini menyenangkan bukan, Ayumi.?” Hizaki berbicara kepada tubuh dingin yang kini tak bernyawa milik Ayumi tersebut. “kau bisa tahu fakta yang sebenarnya apabila kerja pembuluh darah diputuskan.” Ucapnya santai.

Belati itu masih berjalan memutari leher jenjang putih milik Ayumi yang kini telah terbalut warna merah pekat. Memperlihatkan sesuatu yang keras dan berwarna putih dibalik kulit dan otot polos leher tersebut.

“oh iya.!” Hizaki menghentikan gerak belati dileher wanita itu, “ini hukuman untuk orang yang terlalu sok tahu.” Ucap Hizaki dingin sambil menggerakkan kembali belatinya disalah satu anggota indera yang dimiliki oleh dosen mudanya itu.

Hizaki menyeringai, “ini menyenangkan.”

.
.

“cih.! kenapa aku mesti lupa mengembalikan buku tebal ini sih.!”

Ruki kini tengah berjalan sendirian melewati lorong-lorong yang ada dikampusnya. Sebuah kelalaian yang jarang dilakukannya kini tanpa sengaja dilakukannya, dan semua ini sungguh membuat kekesalan pemuda itu meningkat. Bagaimana tidak, perjalanan pulangnya yang sudah terganggu dengan hal-hal tak bermanfaat dengan seorang gadis menyebalkan, sekarang harus ditunda lagi gara-gara kelalaiannya untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya diperpustakaan.

“akh.!” Kekesalan Ruki hampir pada batasnya saat tumpukan dari 4 buah buku setebal 7 cm itu hampir lengser dari pegangan tangannya.

“seharusnya tadi aku terima saja tawaran Shin untuk membantuku.” Keluh Ruki untuk kesekian kalinya.

Pemuda dengan rambut pendek itu melanjutkan perjalanannya, dan terhenti saat sebuah ruangan yang 1 jam lalu menjadi ruang kuliahnya untuk belajar genetic menarik perhatiannya.

“hum.?” Ruki mempertajam penglihatannya saat retina yang dimilikinya memantulkan suatu gambaran mencurigakan didekat pintu masuk kelas yang tertutup itu. Sesuatu yang menyerupai cairan yang mengalir disela-sela ruang antara daun pintu tersebut dan lantai.

Ruki mempercepat langkahnya dan berhenti tepat didepan pintu ruang kelas tersebut. Meletakkan buku-buku yang dibawanya tadi kelantai, kemudian menjulurkan sebelah jari telunjuknya demi menyentuh cairan tersebut.

Sepersekian detik pupil mata pemuda itu mengecil sebelum kembali normal.

Shock.

“i-ini.. darah.??”

Tanpa pikir panjang Ruki mendobrak pintu ruang kuliah tersebut hanya demi mendapati sesosok tubuh tak bernyawa yang terbaring mengenaskan hanya beberapa meter dari pintu tersebut.

Sosok wanita yang adalah dosennya itu kini terbaring dilantai kelas yang dingin tersebut dengan cairan merah yang terus mengalir dari dua luka menganga ditubuhnya. Sebuah luka gorok dileher dan sebuah luka torehan dimulut yang membuat rahang bawah wanita itu hampir terlepas.

“ukh.!!” Ruki segera memalingkan tubuhnya saat lambungnya tiba-tiba saja menolak untuk menahan sisa-sisa makan siangnya yang belum dicerna untuk lebih lama berada disana saat melihat sosok didepannya tadi.

“huek.!”

~ ~ ~ ~ ~

“Uruha-senpai~!!” Hizaki berlari kecil kearah gerbang dimana Uruha telah menunggunya sejak 1 jam yang lalu.

“kau tak apa.?” Uruha mengulurkan tangannya meraih pundak Hizaki begitu gadis cantik itu telah berdiri disampingnya dengan nafas yang tersengal, “kau yakin tak apa setelah berlari seperti itu.?” Uruha menatap sedikit khawatir pada Hizaki.

“iie.. daijobu.!” Gadis tersebut menyahut bersemangat, “ayo pulang sekarang.?” Ajaknya seraya menarik tangan pemuda semampai itu untuk melangkahkan kakinya.

Uruha diam mengikuti apa yang diinginkan Hizaki. Ada sedikit perasaan janggal dipikirannya, bukankah tadi sepertinya Hizaki terpaksa menerima tawarannya.? Lalu ada apa sekarang...? dan, Hizaki terlihat begitu riang.?

“senpai.? Senpai sedang memikirkan apa.?” Hizaki meraih lengan Uruha kedalam dekapan dua lengannya. Menyandarkan kepalanya dipundak pemuda tersebut dengan rileks.

“ah.! Tidak ada.” Uruha sedikit salah tingkah dengan sikap Hizaki yang tak biasa seperti ini. Tapi, bukankah ini lebih baik bagi Uruha.? Dia bisa dengan santai bersama Hizaki, tidak canggung seperti biasanya.

“Hizaki..??” Uruha memicingkan sebelah kelopak matanya saat menatap pundak gadis yang dirangkulnya itu.

“hum.?” Hizaki mendongakkan kepalanya.

“ah.. tidak..” Uruha mengalihkan tatapannya dari pundak gadis yang kini masih memeluk lengannya itu dengan kuat.

Darah.

Uruha yakin, titik kecil yang ada dipundak Hizaki itu adalah bekas tetesan darah. Walaupun bekas itu sedikit tertutup oleh helaian rambut keemasan Hizaki, tapi ia masih bisa mengenalinya hanya dengan sekilas pandang.

Uruha adalah ahli dalam anatomi tubuh bagian dalam, sehingga dia sudah terbiasa dengan darah dan sebagainya. Jadi, tak mungkin dia salah dalam menebak bekas apa yang kini ada dipundak Hizaki tersebut.

.

“apa.!? Kenapa kau tidak bilang kalau kau pulang duluan.!?” Ruki menendang kaleng minuman tak bersalah yang tadi menggelinding kedekat kakinya. Orang yang kini berada disambungan seberang telponnya sungguh telah membuat rasa jengkelnya mencapai batas.

memangnya aku harus selalu melaporkan apa yang ku lakukan kepadamu, hah.?”

Ruki mendengus.

memangnya ada apa.? Tak biasanya kau mempermasalahkan aku yang pulang duluan.?”

Ruki diam beberapa waktu sebelum menjawab pertanyaan pemuda yang kini ditelponnya tersebut.

“ada pembunuhan dikampus.”

hah.?”

“bu Ayumi tewas mengenaskan dengan leher hampir putus dan mulut yang terbelah diruang kuliah.” Suara Ruki melemah.

a-apa.?”

“kau harus segera kembali.!” Suara Ruki sedikit meninggi.

tidak bisa.” Suara pemuda diseberang sana tak terdengar untuk beberapa saat, “aku akan mengantar Hizaki dengan selamat terlebih dahulu.”

Deg.

Gadis menyebalkan itu.?

Ruki mendengus, “terserah kau. Tapi pastikan kau kembali setelah mengantar gadis itu.” sambung Ruki ketus.

ya. Jaga dirimu.”

“kau juga.”

Ruki memutus sambungan telpon tersebut dan kembali masuk keruang kelas tempat dimana dia tadi menemukan mayat dosen wanitanya tersebut pertama kali. Kini ruang kelas itu telah dipenuhi oleh polisi dan dosen-dosen yang segera datang setelah dia melaporkan kejadian tersebut.

Ruki terdiam seraya mengelilingi ruang kelas tersebut. Mayat Ayumi kini sudah dibawa oleh tim forensik untuk dianalisa, walau hanya dengan dilihat sekilas pun sudah diketahui dengan jelas bagaimana cara dosen muda itu tewas.

Ruki memegang lehernya ngeri saat mengingat bagaimana kondisi leher Ayumi saat didapatinya pertama kali tadi. Sungguh, orang yang mampu melakukan hal seperti itu benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya.

“eh.?” Ruki berjongkok dan mengambil sesuatu yang tanpa sengaja terinjak oleh kakinya. Mengangkat benda kecil itu sebatas wajahnya demi memperjelas indera penglihatannya.

“ini-“

.

“kita sampai.!” Hizaki berseru semangat seraya menarik tangan Uruha agar terus mengikuti langkahnya.

“kau yakin aku boleh masuk.?” Uruha mengedarkan pandangannya kesekeliling ruangan yang ada dihadapannya, “bukankah kau bilang hanya boleh sampai pagar.?”

Hizaki menatap Uruha bingung, wajah polos gadis itu sungguh mempesona.

“kapan aku bilang begitu.? senpai boleh masuk kok.! Lagipula, ayah dan ibu tidak ada dirumah hari ini.” Jawab gadis itu santai dan membuka pagar rumahnya tersebut. Dengan sedikit ragu Uruha mengikuti langkah gadis itu.

“silahkan masuk, senpai.”

“un. Permisi.” Uruha melepaskan sepatunya dan masuk kedalam rumah besar dengan dominasi warna merah jambu tersebut. sungguh rumah indah yang serupa dengan pemiliknya, pikir Uruha.

“anggap saja rumah sendiri, senpai.” Hizaki berjalan melewati Uruha yang kini mendudukkan dirinya diatas sofa panjang diruang tamu.

“ah ya.. terima kasih.”

Uruha kembali diam saat hizaki berjalan meninggalkannya. Kedua bola matanya terus bergerak menyisir sekeliling ruangan tersebut.

Beberapa foto dengan bingkai-bingkai lucu tersusun rapi diatas meja tak jauh dari sofa tempatnya duduk. Sebuah televisi besar diatas meja dan beberapa bunga disisi-sisinya.

Uruha mengambil salah satu foto keluarga tersebut “benar-benar cantik,” dan untuk sekian kalinya memuji keindahan yang dimiliki oleh Hizaki.

~~~~
To be continued~

Minggu, 24 April 2011

Testicullar Feminization


Title        :  Testicullar Feminization
Author    : Selvi Uzumaki
Chapter  : 1/3
Genre     : NC 17 for violence and murder
Fandom  : the GazettE ( Uruha and Ruki), Versailles (Hizaki), ViViD (Shin), and other singer hehehehe
Pairing    : Uruha/Hizaki
Disclaimer : they’re a human. I don’t own them.
Summary   : dan ketertarikan itupun membawa Uruha mengalami kejadian yang bahkan tak pernah terlintas dimimpinya sekalipun... keindahan itu penderitaan... sedangkan Ruki, akan merasakan akibat dari mengusik keindahan itu...
 

 ~~~~~

ya.. aku memang berbeda..
aku sadar akan hal itu...
ya... aku memang tidak sama dengan kalian...
tapi... tak ada satupun dari kalian yang menyadarinya kan.??
Tak ada dari kalian yang bahkan ingin tahu kan.??

Sebuah cerita tentang kehidupan seorang manusia yang memiliki daya memikat dan mempesona melebihi orang lain. Seorang manusia yang mampu membius dan membutakan tiap pasang mata yang menatapnya. Terhanyut dalam dunia yang selalu dipenuhi oleh keindahan.
 Tapi tahukah kau.? Bahkan seseorang yang memiliki seribu keindahan tak terangkai oleh kata dapat menjadi sangat buas melebihi seorang pembunuh. Disaat sesuatu sudah mulai mengusik hatinya, dan saat itulah kau akan menyesal telah mengusik keindahan itu.

~ ~ ~

Cahaya temaram dari lampu kecil disudut sebuah ruangan kamar tampak berpendar jingga. Lampu itu ditutupi dengan kaca tipis yang sisi-sisinya penuh berhiaskan tempelan-tempelan berpola bintang. Pendaran cahaya jingga dari lampu kecil itu menerobos melewati sela tempelan-tempelan itu, dan membuat pantulan bayangan berpola bintang yang berputar disetiap sudut kamar tersebut.

“uummm...” sebuah lenguhan pelan terdengar dari sebuah tempat tidur yang berada tepat disamping meja dimana lampu tadi berada. Tak lama kedua kelopak mata dari sosok yang tadi bersuara itu membuka. Memperlihatkan kedua bola mata indahnya yang tampak seperti kristal, kristal hitam yang mengkilat saat diterpa cahaya lampu disampingnya.

Sosok itu kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan duduk disisi tempat tidur. Menyisir rambut panjang keemasannya pelan dengan jemari lentiknya.

Pantulan bayangan tubuh sosok itu tercetak didinding kamar tersebut, seolah menyatu dengan puluhan bayangan bintang disana. Menampilkan lekukan indah dari tubuhnya yang kini tak terbalut satu helai benang pun.

“umm.??” Sosok itu memiringkan sedikit kepalanya kearah jendela kamar yang masih tertutupi dengan tirai berwarna merah jambu. Sedikit cahaya berusaha menerobos tirai tipis itu.

“apa sekarang sudah siang.?” Gumam sosok itu pelan dengan suaranya yang begitu merdu. Dengan gontai, sosok itu berdiri dan melangkahkan kakinya kearah jendela tersebut. Menyingkap sedikit ujung tirai itu dan membiarkan cahaya menusuk dari sang mentari menerobos masuk kedalam kamarnya. Mengalahkan nyala lampu yang ada disana dan membuat bayangan dari bintang-bintang yang tadi berkeliaran didalam kamar itu lari dan menghilang seketika.

Sosok itu menutup kedua matanya dengan telapak tangan kanannya. Cahaya mentari itu sedikit menyakiti indera penglihatannya.

“ternyata memang sudah siang,” gumamnya kembali seraya berjalan menuju kamar mandi. “sebaiknya aku tidak terlambat untuk upacara penerimaan mahasiswa baru hari ini.”

~ ~ ~

Sebuah kota kecil yang berada tak jauh dari kota Shibuya. Kota kecil yang dihuni khusus oleh para ilmuan dan saintis. Ya, kota ini adalah kota yang khusus dibangun untuk mereka yang sangat menyukai ilmu alam. Ilmu yang menurut mereka selalu penuh dengan berbagai kejutan.

Mentari kini sudah meninggi. Membagikan cahaya dan kehangatan pada makhluk yang kini sudah sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Tak terkecuali disebuah perguruan tinggi yang kini tengah melaksanakan upacara penerimaan mahasiswa baru.

“.... dan untuk itulah kita semua ada disini. Untuk terus membuat kejutan-kejutan......”

Seorang lelaki paruh baya tengah memberikan pesan panjangnya ditengah aula besar perguruan tinggi itu. Tampak semangat yang membara dari tubuh ringkihnya yang kini nampak sedikit bungkuk. Semangatnya akan ilmu masih berkobar tak kalah dengan para mahasiswa yang berbaris rapi didepannya. Mendengarkan setiap detil dari kalimat yang diucapkan oleh lelaki paruh baya tersebut.

Setelah hampir 2 jam dengan pesannya, lelaki paruh baya itu pun kemudian berjalan keluar dari aula setelah sebelumnya menyerahkan acara kepada sekelompok pemuda yang dari tadi berdiri disamping panggung ditengah aula besar tersebut.

“hum,” salah satu dari pemuda itu berjalan dengan santai ketengah panggung tersebut. Mengambil microphone yang tadi digunakan oleh lelaki paruh baya yang kini sudah keluar tersebut. Menatap sekilas kearah para mahasiswa baru yang kini masih setia berdiri dibarisannya masing-masing. Setidaknya sebelum sudut matanya menangkap satu sosok yang kini tengah berjalan santai keluar dari aula itu.

“hei, kau yang disana.” Suara berat dari pemuda itu menggema diseluruh aula besar tersebut melalui microphone yang masih berada ditangannya. Sosok yang dipanggil memalingkan kepalanya sekilas tanda menyadari bahwa dirinya lah yang tadi dipanggil.

Sipemuda kemudian berjalan menuruni panggung dan mendekat kearah sosok tadi.

“mau kemana kau.?” Tanya pemuda itu pada sosok yang kini memunggunginya.

Sosok itu tak menjawab. Punggung tipisnya masih membelakangi pemuda yang kini nampak sedikit kesal dengan tingkahnya. Rambut panjang sosok itu tergerai indah menutupi jenjang lehernya yang putih. Seragam sekolah berwarna putih dan rok pendek hitam melekat ditubuh sosok seorang gadis itu.

“apa kau tak bisa mendengar ku.?” Sipemuda mencengkeram bahu gadis itu dan memutar tubuhnya menghadapnya. “mau kemana-“ omongan sipemuda tercekat beberapa saat sebelum bisa kembali melanjutkan kalimatnya, “kau.?” Lanjutnya dengan nada suara yang sedikit menurun.

Gadis itu memiliki paras yang sempurna. Dua bola mata kristal hitamnya berkilat menawan. Hidung mancung laksana onggokan gunung menjulang dan kedua belah bibir mungil yang dipoles dengan lipgloss merah jambu. Sosok gadis itu nampak sedikit bingung menatap kearah pemuda yang tadi memegang bahunya dan memaksanya berpaling.

“ma’af.. saya mau kekamar kecil sebentar,” dan suara merdu laksana alunan gemerisik angin disela dedaunanlah yang kemudian menjawab pertanyaan pemuda tadi. pemuda yang kini hampir tak bisa mengedipkan matanya barang sedetik dari gadis didepannya.

Terhanyut. Paduan wajah dan suara serta kemolekan tubuh gadis yang berdiri didepannya itu kini sudah berhasil membuat pemuda itu terhanyut dalam keindahan.

“ma’af.. apa saya tidak boleh keluar.?” Suara merdu itu kembali mengalun.

“ah.! Tentu,-tentu saja boleh.! Aku akan mengantarkanmu sampai disana dengan selamat.!” Suara sipemuda mengaung nyaring diaula itu dari michrophone yang masih ada ditangannya. Tanpa menyadari hal itu sipemuda mempersilakan sigadis untuk mengikutinya, dan melemparkan begitu saja mic yang tadi dipegangnya.

Hiperbola memang kata yang keluar dari mulut pemuda tinggi dengan rambut panjang keemasannya yang terikat itu. Sipemuda sudah tak tau lagi apa kata-kata yang pantas dia lontarkan untuk gadis sempurna dihadapannya kini. Seolah semua komitmen yang sebelumnya telah dia patrikan diotaknya lenyap seketika.

Sigadis tersenyum, “terima kasih.” Dan berjalan berdampingan dengan pemuda tersebut.

.

Semua mata kini terarah kepada dua sosok yang sedang berjalan keluar dari aula itu. Raut wajah terkejut nampak jelas diwajah mereka semua, baik itu segerombolan pemuda yang masih berdiri diatas panggung ataukah para mahasiswa yang masih berbaris dengan rapi diaula itu.

Tak terkecuali seorang pemuda berambut keemasan pendek yang sedari tadi menatap tajam kearah dua sosok itu dari samping panggung.

 “senpai, acaranya mau dimulai sekarang.?” Seorang pemuda yang juga berambut pendek keemasan bertanya pada pemuda berambut pendek tadi yang masih terpaku mengikuti langkah dua pasang manusia yang keluar dari aula tersebut dengan dua bola mata coklatnya.
 
“senpai.?” Sipemuda mengulang pertanyaannya. Namun nampaknya sipemuda yang ditanya masih tak mendengar pertanyaan dari pemuda disampingnya itu. Kedua matanya masih menatap tajam kearah dimana dua sosok tadi menghilang.

“Uruha, ku harap kau tidak salah memilih kali ini.” Gumam pemuda berambut pendek itu pelan.

“Ruki-senpai.?” Pemuda disampingnya menatap heran kearah pemuda berambut pendek bernama Ruki yang dipanggilnya senpai itu, “kau bicara pada ku.?” Tanya pemuda itu polos.

Ruki mendelikkan sudut bola matanya kepemuda disampingnya. Akhirnya menyadari bahwa sejak tadi adik tingkatnya itu berbicara padanya.

“tidak ada apa-apa, Shin. Ayo mulai acaranya.”

Ruki menghela nafasnya dan mengambil alih acara penerimaan mahasiswa baru itu dengan teman-temannya yang lain. Menganggap Uruha yang meninggalkan acara dan melepaskan tanggung jawabnya bukanlah suatu masalah besar yang perlu diributkan, dan memang, tak akan ada yang berani meributkan.

Karena Uruha adalah orang yang paling dihormati dikampus itu, setidaknya dia adalah mahasiswa paling berpengaruh disana, bersama dengan Ruki.

Memang, gadis yang kini bersama dengan Uruha itu sungguh menawan. Tak kan ada yang menyalahkan Uruha, jikalau dia terhanyut dalam pesona milik gadis itu. Tapi, tak bisakah Uruha melihat dengan benar siapa sosok yang dikaguminya saat ini.
 
~ ~ ~

Semburat jingga mulai menghias langit sore hari itu. Acara penerimaan mahasiswa baru sudah berakhir sejak 30 menit yang lalu. Tampak ratusan mahasiswa dan mahasiswi yang kini hilir mudik keluar dari gerbang besar Universitas itu untuk menuju kerumahnya masing-masing. Tak terkecuali dua sosok pemuda dan pemudi yang kini tengah berdiri didepan gerbang universitas tersebut.

“terima kasih untuk hari ini, Uruha-senpai,” gadis cantik itu tersenyum lembut kearah Uruha yang berdiri didepannya.

“hum..” Uruha menganggukkan kepalanya seraya tersenyum.

“kalau begitu saya pulang dulu.” Sambung gadis itu lagi, tersenyum manis kearah Uruha seraya berpaling dan berniat melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Uruha diam. 

Refleks, Uruha menangkap tangan sigadis dan membuatnya memalingkan kepala menatap pemuda berambut panjang itu.

 “senpai.?” Sigadis memiringkan sedikit kepalanya. Menatap tak mengerti dengan wajah polos pada pemuda didepannya yang masih memegang tangannya kuat.

“Hizaki,-“ Uruha bergumam pelan. tatapan yang didapatnya dari Hizaki sungguh tak tertahankan.

“ya, senpai.?” Gadis bernama Hizaki itu menatap Uruha penasaran. Rambut panjang keemasannya tergerai kedepan, menambah daya memikat dari wajah polosnya yang sungguh menawan.

Uruha kembali terdiam. Sungguh, baru kali ini dia melihat wajah yang begitu sempurna.

 “um, ma’af kalau aku lancang.” Uruha melepaskan genggaman tangannya yang entah sejak kapan menjadi semakin kuat.

Hizaki tersenyum dan menggelengkan kepalanya pelan, “tak apa.”

Uruha mengangguk, masih agak canggung dengan tindakannya yang terkesan memaksa tadi.

“saya duluan, senpai.”

“ah, ya.”

“sampai jumpa besok.!” Ucap Hizaki sebelum berjalan meninggalkan Uruha yang masih diam berdiri ditempatnya.

Uruha melambaikan tangannya mengiringi langkah menjauh dari Hizaki.

“indah...” Uruha bergumam pelan.

Langit kini hampir berubah warna menjadi hitam kemerahan. Cahaya dari sang matahari yang hampir tenggelam tersebut membentuk siluet indah dari tubuh Hizaki yang tercetak dijalanan yang dilaluinya. Rambut panjang Hizaki yang tak terikat tampak bergoyang seirama dengan gerak langkah kakinya. Membuat Uruha tak berkedip menatapnya dari tempatnya berdiri.

Uruha, sudah jatuh kepada Hizaki, gadis cantik yang menawan itu.

.

“sudah selesai menghabiskan waktu dengan pujaan baru hatimu, Uruha.?” Seorang pemuda  berambut pendek keemasan bersandar disisi pagar universitas itu. Menatap Uruha yang masih memandangi bayangan yang tersisa dijalanan tempat dimana Hizaki berjalan pulang.

Uruha tersadar dari lamunannya dan mendelikkan matanya kearah pemuda dibelakangnya itu.

“dia sempurna kan.?” Uruha menjawab pertanyaan pemuda itu dengan pertanyaan. Berjalan melewati pemuda itu dengan santainya. Sipemuda mengikuti langkahnya.

“ku kira dia bukan tipe mu.?” Sipemuda meledek.

“ya, tapi dia melebihi tipe ku, Ruki.” Sahut Uruha dengan nada yang santai. dilepasnya jas yang sedari tadi dipakainya dan menyampirkannya kebahunya.

Ruki menghela nafasnya, “terserah kau saja. Yang penting, kali ini aku tak mau kalau kau kembali mengadu padaku karena kehilangan pacar atas kebiasaanmu.” Ruki menyilangkan kedua tangannya didada. Mempercepat langkahnya supaya sama dengan Uruha.

“tidak akan, adik manis.” Sahut Uruha pelan.

~ ~ ~

Ku rasa kali ini aku akan menemukannya...
Ku rasa kali ini akan ada orang yang peduli dengan ku...
Ku rasa...
Aku akan mulai mencoba menjadi orang lain lagi...

~ ~ ~

Satu minggu berakhir sejak upacara penerimaan mahasiswa baru di kampus itu. Aktivitas kampus yang sebenarnya pun sudah mulai berjalan sedikit demi sedikit.

Begitupula dengan hubungan antara Uruha dan Hizaki. Sungguh, Uruha sepertinya sudah benar-benar terbius oleh keindahan yang dimiliki oleh Hizaki. Yah, walau sebenarnya bukan hanya Uruha yang seperti itu, karena hampir seluruh mahasiswa dikampus itu mengidolakan Hizaki. Hanya saja, tak ada satu orangpun yang berani mendekati Hizaki. Tentu saja, karena kalau mereka berani melakukan hal itu, maka habislah mereka oleh Uruha yang notabene-nya adalah seorang atlit karate andalan dikampusnya.

Namun walau begitu, masih ada beberapa orang normal yang biasa-biasa saja terhadap pesona Hizaki, bahkan tidak tertarik. Seperti seorang pemuda yang kini nampak sedang duduk dengan santai disalah satu meja disudut sebuah kantin kampus tersebut. menikmati makan siangnya dengan santai sambil menjalankan tugasnya.

“Ruki senpai, kenapa masih disini.?? Sebentar lagi kan kita ada kelas.??” Tanya Shin yang tiba-tiba datang dari pintu masuk kantin dan langsung menghampiri meja dimana Ruki duduk. Tak seperti biasa, kegiatan Ruki kini bertambah selain menjadi seorang mahasiswa biasa, tapi juga menjadi seorang mata-mata. Memata-matai semua aktivitas yang dilakukan oleh Hizaki.

“seandainya ayah dan ibu tidak terlalu over protective, sekarang aku tidak akan berada disini memperhatikan dua orang bodoh yang sedang dilanda asmara itu.” celoteh Ruki sambil meneguk jus jeruk didepannya. Shin yang duduk didepan senpainya itu hanya tertawa kecil melihat tingkahnya.

Beberapa hari terakhir, sejak mengenal Hizaki, sifat Uruha menjadi berubah drastis. Pemuda iseng yang sangat suka membuat onar dirumah maupun disekolah itu, sekarang lebih terlihat tenang. Setiap waktu luang yang dimilkinya dirumah selalu dihabiskannya didalam kamar dengan berbicara ditelpon. Dan tentu saja hal itu membuat kedua orang tua mereka cemas.

Dan sekali lagi, karena itulah kini Ruki harus berada dimana Hizaki berada.

“memangnya senpai tidak bisa bohong apa sama orang tua senpai.?” Shin berujar cuek sambil duduk dan memakan roti milik Ruki yang ada didekat tangannya.

Ruki melirik Shin saat pemuda itu mulai melahap roti miliknya.

“lebih baik senpai masuk kelas hari ini, Hizaki ada kelas yang sama dengan kita.” Lanjut Shin santai dengan mulut penuh roti.

“eh, benarkah.?”

“un.!” Shin mengangguk meyakinkan.

Ruki terdiam sejenak. Menatap kesudut ruang kantin dimana Uruha dan Hizaki tengah berbicang-bincang.

“ya sudah kalau begitu. Aku jadi tidak perlu disini terus untuk memperhatikan gadis itu.” Ruki bangkit dari duduknya dan menenggak habis jus jeruk ditangannya, “ayo kekelas.!” Menarik tangan Shin yang masih sibuk dengan rotinya meninggalkan kantin itu.

Dari sudut kantin dimana Ruki tadi mematrikan pandangannya, nampak Hizaki yang kini balas menatap kearahnya. Mengikuti langkah dua pemuda itu keluar dari kantin.

“ada apa, Hizaki.?” Tanya Uruha pelan saat menyadari perubahan tatapan Hizaki yang menajam. Hizaki sedikit tersentak dan mengalihkan tatapannya kembali kearah Uruha.

“uruha senpai, aku duluan ya.? Kelas ku hampir mulai.” Ucap gadis itu tenang.

“oh, ah, ya.” Sahut Uruha sedikit bingung. Gadis didepannya ini baru saja mengalihkan pembicaraan.

“sampai jumpa lagi, senpai.”

“ya.”

Hizaki menyandang tasnya yang berada disamping Uruha dan berjalan meninggalkan kantin itu. Uruha menatap gadis itu dari belakang. Terus mengikuti langkahnya sampai sosok gadis itu menghilang disebuah tikungan sebelum sampai dikelas yang ditujunya.

“tunggu sebentar...” Uruha menggumam pelan dan bangkit dari duduknya seketika saat otaknya mengingat sesuatu hal yang penting.

“Hizaki.!!” Uruha berlari mengejar Hizaki yang sudah hampir melewati belokan itu. Menggenggam pergelangan tangan gadis berambut panjang itu erat.

“senpai.?” Hizaki menatap heran pada Uruha yang terengah-engah mengatur nafasnya. Berlari cepat tanpa ada rencana itu ternyata telah berhasil menghabiskan persediaan oksigen dipembuluh darahnya.

“bolehkah aku mengantarmu pulang hari ini.?” Tatap Uruha memohon kepada Hizaki.

Hizaki terdiam. Uruha menatap dua bola mata gadis itu dalam. Sudah beberapa kali Uruha menawarkan diri untuk mengantar Hizaki pulang dan selalu berakhir dengan penolakan lembut oleh gadis itu.

“senpai...” ada nada khawatir yang tersirat dari ucapan gadis itu. Uruha menutup matanya sejenak kemudian kembali menatap Hizaki dalam.

“paling tidak biarkan aku mengantarmu sampai didepan pagar rumahmu dengan selamat.” Pinta Uruha serius.
 Hizaki nampak bergeming, dan detik berikutnya sebuah anggukan kecil menjadi jawaban singkat yang membuat Uruha meloncat bahagia melihatnya.

“yatta.!! Tunggu aku nanti didepan gerbang kampus.!” Seru Uruha bahagia seraya berlari meninggalkan Hizaki yang melambaikan tangannya kearah Uruha.

Sementara itu dari dalam kelas, melewati celah kecil dipintu yang kini terbuka setengahnya, tampak Ruki yang tengah menatap tajam kearah Hizaki. Kedua jemari pemuda itu terkepal kuat, dan berhasil membuat pena milik Shin yang dipinjam olehnya patah menjadi dua bagian.

.

Pelajaran dimulai 10 menit kemudian. Semua mahasiswa kini sudah duduk ditempat yang sudah disediakan, dan Ruki, duduk tepat dua baris dibelakang Hizaki.

Seorang dosen muda dengan penampilan mencolok yang sedari tadi telah berdiri didepan ruangan kelas itu memulai kuliah dengan bersemangat. Menulis catatan dipapan tulis yang ada didepannya dengan spidol.

Genetic.

“saat dua buah kromosom haploid dari dua orang tua bersatu, maka akan dipastikan dapat terjadi berbagai kemungkinan dari sifat dan keadaan bayi yang dilahirkannya.” Dosen muda itu memulai penjelasannya.

Hizaki nampak tertarik dengan tema yang disampaikan oleh dosen genetika kali ini. Kedua bola matanya mengikuti setiap gerakan yang dilakukan oleh dosen tersebut. Namun tidak halnya dengan kedua jemari lentik milik gadis cantik itu yang digerakkannya memutar diatas meja, seolah merangkai sebuah kata yang tak terlihat.

Ruki yang duduk tak jauh dari gadis itu menajamkan fungsi indera penglihatannya. Menatap tajam ketiap gerakan jemari gadis itu.

“disaat tiap gen sudah menyatu beberapa kelainan mungkin terjadi pada  hasil F1 keturunan dari pencampuran gen tersebut.”

Bodoh.

Ruki memicingkan kedua kelopak matanya demi memperjelas indera penglihatannya. Memaksa kerja matanya untuk melihat lebih jelas kearah jemari Hizaki yang masih mengukir tiap huruf diatas mejanya.

Orang bodoh akan selamanya bodoh.

Kalimat itu terangkai dengan jelas dari gerakan jemari Hizaki, dan ditangkap oleh kedua bola mata Ruki. Sebelah sudut bibir Hizaki terangkat saat jemarinya selesai menuliskan kalimat itu, membuat kepalan kedua jemari Ruki menguat. Kali ini, pensil yang dipinjamkan Shin sebagai pengganti pena yang patah tadi, kembali menjadi korban dari amarah Ruki. Patah menjadi dua.

“apa maunya gadis itu.!?” desis Ruki pelan, tak ingin suaranya didengar oleh Shin yang  duduk disampingnya, menatap sedih pada nasib pensil kesayangannya yang masih berada digenggaman Ruki.

turner syndrome, saat dimana sebuah gen X terdapat tiga buah dalam satu kromosom kelamin seorang anak. Membuat sianak menjadi seorang wanita super dengan penampakan yang menyerupai laki-laki.”

Kau sungguh sangat bodoh.!

Sebuah kata yang sungguh telah berhasil memancing seluruh amarah Ruki keluar.

“senpai..?? pensil itu...” Shin merengut menatap nasib pensilnya yang kini kembali patah menjadi empat bagian.

Ruki berusaha menahan amarahnya hingga menimbulkan bunyi gemeretak kecil dari giginya. Gadis ini sungguh sedang menguji kesabarannya. Apa maksudnya dengan kalimat-kalimat itu.?

kleinifelter syndrome, terjadi ketika dua gen X bersama dengan gen Y. Membuat seorang anak lelaki memiliki penampakan luar lebih menyerupai seorang perempuan, walau pada beberapa bagian tubuhnya masih memiliki beberapa ciri fisik lelaki.”

Hari ini aku akan mendapatkannya.

Ruki memiringkan kepalanya. Apa lagi sekarang maksud gadis menyebalkan ini.?

Aku akan mendapatkannya.

Ruki sungguh tak mengerti maksud gadis itu sekarang.

Testicular Feminization, kelainan yang hampir tak bisa dibedakan dengan orang atau lebih tepatnya wanita biasa.”

Ruki masih menatap kearah Hizaki yang entah kenapa sekarang menghentikan gerakan jemarinya. Gadis itu kini tengah menatap tajam pada dosen muda didepan kelas tersebut. sepertinya kalimat terakhir dari dosen itu telah menarik perhatian Hizaki sepenuhnya.

“kelainan ini terjadi pada saat gen X dan Y ada bersama, namun penampakan yang terjadi seharusnya adalah seorang lelaki, namun yang terjadi penampakan yang terjadi adalah seorang perempuan dengan kelebihan yang bisa dibilang sempurna. Wajah dan tubuh sempurna milik perempuan serta kejeniusan dan ambisi yang sangat besar. Tak ada satu ciri fisik lelaki pun yang ada pada orang dengan kelainan jenis ini.”

Hizaki tersenyum.

Deg.

kenapa gadis itu tersenyum.?” Ruki mengalihkan pandangannya kearah dosen dan mengangkat tangannya demi memastikan sesuatu yang kini mulai mengusik pikirannya.

“Ya, Takanori.? Ada yang ingin kau tanyakan.?” Tanya dosen itu saat melihat tangan Ruki yang teracung.

 “apakah orang dengan kelainan seperti itu mungkin memiliki pheromone.?”

Hizaki mendelikkan matanya kearah Ruki bersamaan dengan Ruki yang juga menatap kearahnya.

Kerja otak Ruki berjalan cepat, dia bukanlah orang bodoh yang tak bisa menangkap sesuatu yang berbeda dari seseorang. Dia yakin kalau Hizaki mungkin memiliki pheromone, hanya saja dia tak pernah memikirkan kemungkinan selain itu. Setidaknya, sebelum Hizaki kini menatapnya atas pertanyaannya barusan.

Sebuah tatapan tajam yang menusuk berhasil didapatkan Ruki dengan telak dari gadis itu.

“pertanyaan bagus, Takanori.” Sang dosen membuka catatan kecil dimejanya, “ menurut apa yang ku pelajari, orang dengan kelainan seperti ini mungkin memiliki pheromone yang bahkan sangat kuat.”

Ruki semakin tertarik dan berusaha mengabaikan Hizaki yang kini mengalihkan tatapan menusuknya kearah sang dosen yang masih melanjutkan penjelasannya.

“dan terkadang orang dengan kelainan ini juga memiliki kelainan lain yang bisa dianggap berbahaya.” Sang dosen berhenti sejenak, menatap kearah Ruki demi memastikan apakah pemuda itu masih memerlukan penjelasan yang lebih mendetail darinya.

“lalu.?” Ruki menanggapi pandangan dosen itu dan kembali bertanya. Pemuda itu merasa bahwa penjelasan ini berarti sesuatu bagi Hizaki, karena gadis itu terlihat sedikit terusik sekarang.

“ya, orang dengan kelainan ini juga mungkin punya kelainan lain. Contohnya schizoprenia, yaitu sifat ganda.” Sang dosen menutup buku catatannya sebelum melanjutkan, “yah kukira aku tak perlu menjelaskan maksud ku dengan ‘sifat ganda’ itu kan, Takanori.?” Sang dosen menatap Ruki santai.

Ruki sedikit tersipu saat ditatap oleh dosen muda itu, “kurasa sudah cukup, bu Ayumi.” Sahut Ruki sambil tersenyum kearah dosen itu.

Dosen muda itu kembali melanjutkan kuliah genetic hari itu. Setiap mahasiswa yang ada disitu mendengarkan dengan seksama penjelasan dari dosen dengan penampilan mengundang itu.

Tapi tidak untuk Hizaki, yang kini sudah menghancurkan pena ditangannya menjadi beberapa bagian.

~~~~

To be Continued~

AN : huhuhu padahal rencananya nih fic pengen diikutin lomba.. tp karena kesibukan yang sungguh tak bisa dihindari... SEMUANYA GAGAL.!!! *nangis gelundungan*
tapi ya sudahlah.. tak apa itu... ntar juga ada lagi kesempatan lain.. dan semoga nanti ga ada halangan apa-apa...
ehem ehem... karena ini fic pertama saya.. *PLAK!*
eh ralat.. maksudnya, karena ini fic pertama saya yang menyangkut ama pelajaran yg saya suka *lebih tepatnya pelajaran yg bikin sy suka* jadi... Semoga kalian suka... and COMENT NYA SAYA TUNGGU... hihihihi